Kemiskinan merupakan salah satu kondisi yang cukup ditakuti oleh kebanyakan orang. Bagaimana tidak, saat seseorang mengalami kemiskinan, maka ia akan kesulitan untuk berkembang dan keluar dari kesulitan yang sedang ia alami.
Di beberapa kota besar misalnya, ketimpangan begitu sangat terasa. Bagi mereka yang hidupnya penuh dengan keterbatasan akan sulit untuk mendapatkan akses, baik itu untuk kebutuhan sehari-hari seperti air, listrik dan juga pendidikan maupun akses untuk kebutuhan lain misalnya seperti hiburan.
Akan tetapi, baru-baru ini Kementerian Sosial mengganti istilah keluarga miskin dengan istilah keluarga pra sejahtera. Upaya tersebut diberikan bagi mereka yang mendapatkan bantuan PKH (Program Keluarga Harapan) yang biasa dikenal dengan Keluarga Penerima Manfaat (KPM), alih-alih menggunakan istilah keluarga miskin lebih baik menggantinya dengan istilah keluarga prasejahtera.
Hal tersebut dilakukan agar dapat mengurangi stigma negatif terhadap para penerima bantuan PKH. Harapannya dapat memberikan dorongan psikologis yang positif serta dapat mengurangi angka kemiskinan dari waktu ke waktu.
Baca Juga: Mengapa Orang Sulit Keluar dari Jerat Kemiskinan
Apakah yang Miskin akan Semakin Miskin?
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan Bradley. R Schiller seorang Profesor bidang ekonomi dari University of Nevada memperlihatkan dari warga Amerika dewasa yang kini hidup dengan pendapatan rendah meningkat dari 25% pada tahun 1971 sebanyak 4% menjadi 29% pada tahun 2011. Dampaknya berpengaruh pada anak mereka dimana remaja yang besar dari keluarga yang miskin akan cenderung menjadi orang dewasa yang miskin juga.
Ketika melihat hal ini secara global, memperlihatkan bahwa hal sejenis terjadi juga di seluruh negara. Sampai pada akhirnya ilmuwan syaraf mulai memandang lingkaran kemiskinan dengan perspektif baru. Mereka menemukan adanya korelasi bila status sosioekonomi rendah ternyata memang berdampak pada perkembangan otak anak.
Untuk mengukur hal tersebut mereka menggunakan indikator berupa Socioeconomic Status (SES). Kekayaan, pendapatan, prestise, dan pendidikan ternyata bisa mempengaruhi hal-hal lain. Mereka secara konsisten menemukan bahwa bagi individu dengan SES yang lebih tinggi dapat mengungguli individu dengan SES yang lebih rendah.
Kenyataan tersebut terlihat pada ujian kecerdasan dan pencapaian akademik. Penelitian menemukan bahwa rata-rata IQ anak-anak dari keluarga miskin di kota hanyalah 80 (padahal rata-ratanya 100 untuk usia berapapun). Pasalnya pada saat pendapatan dari orangtuanya menurun, akan membuat menurun juga kemampuan anak-anak mereka di dalam dunia akademik, baik dalam membaca maupun mengingat.
Penelitian lain juga menemukan bahwa bagi mereka yang menghabiskan masa kecilnya di dalam kemiskinan memiliki hasil tes 20 persen lebih rendah dalam hal ingatan jika dibandingkan dengan anak-anak yang tidak pernah miskin.
Tak hanya itu, kemampuan bahasa juga berhubungan dengan SES ini. Tambahan lainnya dalam sebuah study yang dilakukan oleh Martha Farah, ilmuwan syaraf kognitif dari University of Pennsylvania menunjukan bahwa anak berusia 3 tahun dari keluarga profesional memiliki kosakata dua kali lebih luas daripada anak-anak dari keluarga yang hidup dengan bantuan pemerintah.
Baca Juga : Dampak Kemiskinan Struktural di Indonesia
Stress Berpengaruh Terhadap Kemampuan Otak
Jika dikritisi kembali SES bisa menjadi penyebab dari hal tersebut. Semakin awal seseorang mengalami kemiskinan, semakin rendah pula prestasi kognitifnya. Semakin lama hidup dalam kemiskinan semakin buruk juga kemampuan seseorang dalam mengingat sesuatu.
Hal menarik lain yaitu sebuah penelitian menunjukan bahwa hampir setengah perbedaan IQ pada anak-anak disebabkan oleh SES dari keluarga mereka, alih-alih secara genetik. Bahkan dengan mempertimbangkan faktor lain seperti nenek moyang dan juga kesehatan. Penelitian tersebut menunjukan perbedaan yang jelas antara anak-anak dengan status sosial dan ekonomi yang tinggi dan rendah.
Ditambah lagi perbedaan tersebut diperparah dengan kemiskinan, seperti diketahui tekanan akibat kemiskinan dapat mengubah otak dengan cara-cara yang dapat semakin mempersulit orang miskin di masyarakat modern. Misalnya saja, lingkungan yang penuh dengan tekanan dapat menghambat perkembangan otak seorang anak terutama dalam hal fungsi eksekutifnya.
Fungsi eksekutif sendiri adalah keterampilan yang dapat membantu kita untuk berpikir, membuat rencana, fokus, mengembangkan kosakata baru, melakukan sintesis terhadap konsep-konsep abstrak, serta berhasil di sekolah.
Sedikit refleksi bayangkan saja saat Anda tidak memiliki uang sama sekali, namun ingin membeli sesuatu yang Anda inginkan. Mungkin akan stress bukan? Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki uang sama sekali akan tetapi ada kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.
Referensi
- https://nasional.kontan.co.id/news/mensos-sebaiknya-gunakan-istilah-keluarga-pra-sejahtera-bukan-keluarga-miskin
- https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10875541003711813
- http://www.seschmid.org/SP/ResearchLinksPoorChildrensStressandBrainImpairment.pdf
- https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1364661308002635