Dulu sampai sekarang, guru menjadi profesi yang sering diimpikan anak-anak. Namun, ternyata tak mudah untuk menjadi seorang guru. Setelah mengikuti pendidikan, guru harus beradaptasi mengajar sesuai dengan wilayah tempat yang nantinya akan menjadi tempat berbagi ilmu. Salah satu lokasi tempat mengajar yang diperlukan ekstra kesabaran yakni di pedalaman.
Perjuangan Guru di Pedalaman
Daftar Isi
Peran guru dalam sejarah Indonesia begitu sangat besar. Guru mendidik untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan produktif. Akan tetapi peran besar guru berbanding terbalik dengan kesejahteraan, akses dan juga fasilitas yang mereka dapatkan. Kondisi ini terutama dirasakan oleh guru-guru di pedalaman. Para guru di pedalaman rela mengabdikan dirinya demi mencerdaskan anak-anak bangsa, di tengah keterbatasan dan keprihatinan
Berikut adalah perjuangan guru-guru di pedalaman Indonesia.
1. Gaji Sedikit
Gaji merupakan hal utama dalam sebuah pekerjaan. Namun, bagi guru di pedalaman, mereka harus bersabar untuk mendapatkan gaji. Kita ambil contoh guru di MIS Timuabang di Pulau Pura, Nusa Tenggara Timur (NTT). Gaji guru di sana hanya berkisar Rp250.000-Rp350.000 per bulan. Gaji tersebut bahkan dibagikan tiap 3 bulan karena menunggu dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, guru lokal mempunyai cara tersendiri. Di daerah pantai, guru sering pergi berlayar untuk mendapatkan ikan. Di daerah pegunungan, guru sering berkebun untuk mendapatkan sayur-sayuran dan buah-buahan.
Baca Juga: 3 Masalah Besar yang Membuat Pedalaman NTT Harus kita Bantu
2. Lokasi Sekolah Jauh
Guru-guru di Kec. Selembau, Kab. Kapuas Hulu, Kalimantan Barat harus menyusuri sungai mengendarai sampan untuk sampai ke sekolah. Sampan di sana cuman ada satu. Sehingga guru-guru harus berkumpul semua agar perjalanan bisa ditempuh sekali saja. Mereka harus menempuh 30 menit untuk sampai ke sekolah.
Sementara itu, bagi guru-guru di Timor Tengah Selatan (TTS), NTT musim hujan menjadi musim yang menantang. Hujan bahkan menjadi ‘bel pulang sekolah’. Banyaknya sungai di sana mengharuskan guru dan siswa pulang lebih awal sebelum hujan turun. Sebab, jika pulang setelah hujan turun, maka sungai akan meluap. Guru dan siswa pun tidak bisa melawati sungai tersebut.
3. Menguasai Bahasa Daerah
Saat awal mengajar, guru pendatang yang mengajar di Kec. Amanuban Selatan, TTS, NTT sering ditertawakan oleh siswa. Lantaran guru berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan anak-anak terbiasa berbicara dengan bahasa daerah. Maka dari itu, guru harus mengetahui bahasa daerah terlebih dahulu. Setelah itu baru dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.
4. Membujuk Anak untuk Sekolah
Selain mengajar anak-anak, guru di pedalaman pun harus melakukan sosialisasi ke orangtua siswa mengenai pentingnya sekolah. Kadang-kadang banyak anak yang tiba-tiba tidak masuk ke sekolah lagi. Guru harus bertemu langsung ke rumah untuk mengetahui kondisi siswa. Kadang anak-anak merasa malas, ingin ikut bekerja ke ladang, atau orangtuanya tidak memberikan dukungan untuk bersekolah. Di sinilah peran guru sangat diperlukan. Guru harus mensosialisasikan pentingnya bersekolah kepada siswa dan orangtuanya.
5. Jumlah Guru Sedikit di Satu Sekolah
Dalam satu sekolah, jumlah guru tidak sesuai dengan siswa. Di salah satu SD, Kec. Selembau, Kab. Kapuas Hulu, Kalimantan Barat hanya mempunyai 4 orang guru. Guru di sana dituntut untuk bisa mengajar semua kelas. Bahkan, jika ada guru yang tidak masuk karena sakit, maka guru yang masuk harus menggantikannya dan mengajar beberapa kelas.
Segala perjuangan yang guru-guru lakukan di pedalaman Indonesia ini semata hanya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Sahabat, mari kita doakan guru-guru di pedalaman Indonesia agar mempunyai fasilitas mengajar yang lebih baik. Semoga perjuangan guru-guru di pedalaman menjadi amal jariyah dengan pahala yang tidak terputus sampai di akhirat kelak. Aamiin.
Semangat guru pedalaman Indonesia!