Inspiratif

Mengulas Masalah Utama Pendidikan di Pedalaman Indonesia

masalah pendidikan pedalaman

Masalah pendidikan di Indonesia masih menjadi topik yang menarik untuk didiskusikan. Apalagi jika kita sama-sama melihat perbandingan pendidikan antara kota dan pedalaman, terdapat banyak perbedaan yang bisa jadi sumber dari masalah pendidikan. Misalnya, akses jalan ke sekolah yang sulit, kurangnya fasilitas belajar, hingga rendahnya motivasi anak-anak untuk belajar. 

Sahabat, masalah pendidikan menjadi salah satu penghambat sumber daya manusia dalam meningkatkan kualitas diri. Hal itu juga yang kemudian berdampak pada rendahnya mutu pendidikan nasional, khususnya di pedalaman. Sebelum berupaya untuk meminimalisasi masalah tersebut, mari kita kenali terlebih dahulu apa saja faktor yang bisa jadi menjadi masalah utama pendidikan di pedalaman Indonesia.

Geografi yang Sulit Dijangkau dan Terpencil

masalah pendidikan di pedalaman

Pernahkah Sahabat mendengar, siswa di suatu wilayah perlu jalan kaki berkilo-kilo meter, mendaki gunung, menyeberangi sungai, sampai melalui jembatan keropos untuk bersekolah? Ternyata, kesulitan itu tak hanya dihadapi langsung oleh siswa di pedalaman. Nyatanya, pemenuhan fasilitas untuk mendukung kemajuan pendidikan juga ikut terhambat. 

Sebagai contoh, pembangunan sekolah di pedalaman tak semudah jika dilakukan di perkotaan. Apabila ada bahan  material yang dibutuhkan, perkotaan menyediakan perlengkapan yang mudah dijangkau. Tentunya tanpa perlu biaya transportasi yang lebih mahal karena jarak yang ditempuh tidak sejauh wilayah pedalaman dan aksesnya pun tidak sulit.

Geografi yang sulit dijangkau ini juga bisa menjadi muara pada masalah pendidikan lainnya. Seperti pada keterbatasan akses informasi dan jangkauan internet yang buruk membuat kesenjangan antara pendidikan di kota dan desa semakin menganga.

Kurangnya Pemahaman Orang Tua Tentang Pentingnya Pendidikan

masalah pendidikan pedalaman

“Siswa di SDN Lebantour, Sikka, NTT berjalan kaki menyeberangi sungai, melalui semak belukar dan jalanan berbatu demi sekolah”. Lihat, betapa semangatnya anak-anak itu dalam memenuhi kebutuhannya mengejar ilmu. Lalu, mengapa masih banyak angka putus sekolah yang datang dari anak-anak pedalaman?

Masalah pendidikan ini berkaitan dengan keluarga dengan kondisi sosial dan ekonomi yang sulit. Seperti yang disebutkan pada penelitian Ana Herwana (2000) bahwa kondisi tersebut menyebabkan orang tua lebih suka meminta anaknya bekerja dari pada sekolah. Tahun 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari sebanyak 2.725 juta orang NTT usia 15 tahun ke atas, 51,14% merupakan penduduk dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah. Adapun angka putus sekolah di tingkatan yang lebih tinggi seperti SMA dan SMK juga masih tinggi, yaitu lebih dari 1.500 siswa.

Di sisi lain, orang tua di pedalaman yang sadar akan pentingnya pendidikan juga terhambat oleh ketidakpahaman mereka terkait bagaimana cara untuk memotivasi anak, mengetahui potensi anak, dan mendidik mereka agar bisa terus melanjutkan sekolah. Pun faktor keterbatasan ekonomi lagi-lagi menjadi penghambat besar bagi keputusan mereka untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

Kualitas dan Kesejahteraan Guru yang Rendah

masalah utama pendidikan pedalaman

Saat pergi ke sekolah, siapa lagi yang dituju selain sosok guru? Mereka adalah sosok penting dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia di masa mendatang. Tak hanya mendidik, guru juga memiliki peran untuk membimbing dan memotivasi siswa agar terus menimba ilmu dan memperbaiki diri.

Namun sayang, masalah pendidikan juga datang dari ketersediaan guru-guru di daerah terpencil. Jumlah yang sedikit beriringan dengan distribusinya ke daerah 3T yang tidak seimbang. Bahkan, masih banyak guru di pedalaman yang kualifikasinya masih di bawah standar, dinilai kurang kompeten, dan ketidaksesuaian antara pendidikan dengan bidang yang diampu di sekolah tempatnya mengajar.

Dilansir dari Kompas.com berdasarkan data Neraca Pendidikan Daerah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2020 disebutkan bahwa satuan pendidikan dari tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK masih kekurangan sekitar 21.676 guru untuk sekolah negeri. Tak hanya itu, rata-rata 62 persen guru SD dari 61 daerah tertinggal dari 11 provinsi (kecuali Kabupaten Maybrat, Papua Barat, tidak ada data) memiliki kualifikasi ijazah kurang dari D-4/S-1.

Permasalahan tenaga pengajar di pedalaman juga datang dari kesejahteraan guru di pedalaman yang masih perlu diperhatikan. Salah satunya dialami oleh Bu Satiara, guru honorer asal Dusun Mpori Lembo, NTB. Meski telah mengajar selama 8 tahun, upah beliau tak cukup untuk memperbaiki motor tuanya. Maka tak heran, beliau harus menempuh 30 kilometer perjalanan selama 2 jam melalui jalanan berbatu menggunakan motornya yang sering mogok.

Sahabat, ulasan di atas hanya garis besar dari masalah pendidikan yang mampu menghambat kemajuan pendidikan di pedalaman. Semoga melalui ulasan tersebut, Sahabat bersama-sama semakin semangat memberikan dukungan kepada anak-anak serta guru di pedalaman sehingga kualitas pendidikan bisa semakin baik.

Referensi:

https://www.worldbank.org/in/results/2017/12/22/improving-education-quality-in-indonesia-poor-rural-and-remote-areas
https://www.kompas.id/baca/riset/2021/11/29/potret-buram-guru-di-daerah-tertinggal
https://www.researchgate.net/publication/323909459_MENEGOSIASIKAN_PENDIDIKAN_PADA_MASYARAKAT_PEDALAMAN/fulltext/5ab25bed458515ecebedd19d/MENEGOSIASIKAN-PENDIDIKAN-PADA-MASYARAKAT-PEDALAMAN.pdf
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/10/14/5114-tenaga-kerja-ntt-lulusan-sd-ke-bawah