Tentang IBM

KHALIDA: Pendidikan Indonesia Kita

Akhir April 2018, aku berkesempatan berkunjung ke pedalaman Sulawesi Tengah, tepatnya ke pedalaman
Kab. Parigi Moutong. Jangan bayangkan jaraknya cuma selemparan batu. Dari episentrum Kota Palu saja paling tidak harus menempuh jarak kurang lebih 300 km.

Cukup untuk berhibernasi sampai-sampai kita lupa caranya bangun tidur. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Sekolah Dasar Kecil Terpencil (SDKT) Salujengi yang letaknya nun jauh di atas bukit di Desa Supilopong. Kalau jalan kaki dari bawah bisa sampai berjam-jam. Kalaupun pakai motor, medan yang ditempuh luar biasa terjal. Butuh skill naik motor tingkat dewa. Salah sedikit bisa terguling. Tak ada rumah-rumah yang berjejer, warung, apalagi mini market.

Sisi kiri kanan kami hanya semak belukar dan hamparan kebun coklat. Sulit dipercaya bahwa ada segelintir manusia yang tinggal dan sekolah di atas sana. Setibanya di lokasi, bayang-bayang gedung sekolah layaknya di kota-kota sungguh tak ada.

Apa yang ada dalam benak kita tentang sebuah bangunan sekolah berisi ruang kelas yang nyaman, meja, kursi dan perlatan belajar lainnya, aku tak melihatnya disana. Tapi, yang aku lihat di atas sana tak lebih dari kayu-kayu lapuk yang dibangun tanpa dinding, beralas tanah dan beratap daun. Lebih tampak seperti ‘saung’ ketimbang sekolah. Aku yakin sekali jika badai datang bangunannya bisa langsung roboh. Di sana, kami bertemu dengan beberapa guru dan warga setempat. Sambutannya hangat sekali. Bukan sekadar ‘cipika cipiki’dan basa basi, tapi kami disambut pelukan-pelukan hangat dan bincang-bincang sarat makna.

Salah satu guru yang aku temuibernama Bu Nasbah. Bisa ku bilang kalau beliau adalah legenda pendidikan di pedalaman Sulawesi. Tak banyak yang mengenal beliau. Mungkin Sahabat pun baru mendengar namanya. Bu Nasbah ini adalah salah satu guru di SDKT Salujengi. Kiprahnya sebagai pendidik sudah lebih dari 20 tahun Masya Allah.

Tapi, dua dekade mengabdi sampai sekarang beliau masih berstatus sebagai guru honorer. Gaji beliau tak lebih dari Rp. 250.000/bulan. Itu pun dibayarkan setiap enam bulan sekali. Uang jajan Sahabat mungkin jauh lebih besar dari gaji beliau. Aku sampai menerka-nerka apa yang membuat beliau mau jadi guru dengan gaji super rendah? Dan selama 20 tahun? tanpa mengeluh sedikitpun?

Perjuangan Beliau Bukan Hanya Itu…

Setiap hari beliau harus berjalan dari kaki bukit menuju sekolah yang ada nun jauh di atas bukit. Bu Nasbah berangkat jam enam pagi dan sampai di sekolah jam tujuh pagi. Kadang beliau berjalan terseok-seok karena kelelahan. Setiap hari beliau lakukan itu. Setiap hari. Tanpa mengeluh. Saat ku lihat ke bawah kakinya, Bu Nasbah hanya memakai sendal jepit yang sudah tipis karena terlampau sering dipakai.

Sendal itu menjadi saksi perjuangan Bu Nasbah sebagai pendidik di pedalaman. Hatiku hancur mendengarnya. Tapi beliau bercerita tanpa terlihat mengasihani dirinya. ‘Saya bersyukur dengan kondisi sekarang. Menjadi guru bukan sekadar mimpi, tapi panggilan jiwa. Saya mau mengajar sampai tua.

Sampai saya tidak sanggup lagi mengajar

Mendengar kalimat itu membuatku terkagum-kagum pada semangat dan ketulusan beliau. Cerita memilukan sekaligus menginspirasi berikutnya adalah soal kondisi SDKT Salujengi dan anak-anak yang sekolah di sana. Bangunan sekolah yang tadi aku bilang tampak seperti saung rupanya memang sedari awal sudah seperti itu. Tidak pernah punya bangunan permanen. Hanya kayu-kayu lapuk yang jadi penyangga.

Sekolah ini bahkan jauh lebih memprihatinkan dari SD Muhammadiyah ya diceritakan Andrea Hirata pada novelnya yang berjudul ‘Laskar Pelangi’. Guru di sana bilang, sekolah tersebut sudah lima kali roboh diterjang angin kencang. Roboh seroboh-robohnya hingga rata dengan tanah. Setiap kali roboh, anak-anak terpaksa diliburkan hingga sekolah kembali dibangun.

Sekolah mereka juga tidak luas..


Hanya berukuran 3x5m yang disekat menjadi tiga bagian dan digunakan oleh kelas
satu hingga kelas enam. Mereka belajar bergantian dari pagi hingga siang. Yang
luar biasa, semangat anak-anak sana tidak pernah padam. Meski harus naik turun
bukit, mereka hampir tidak pernah bolos sekolah. Kecuali untuk satu hal super
genting: bantu orang tua panen di kebun. Anak-anak di sana, sedari kecil sudah terbiasa
bekerja. Pagi-siang sekolah, siang-sore menjaga adik atau bekerja di kebun.
Mereka tidak pernah punya uang jajan, pergi ke sekolah pakai sendal bahkan
kerap tanpa alas kaki.

Bu Nasbah dan guru lainnya
meyakini, bahwa pendidikan adalah hak setiap orang, hak setiap anak yang
tinggal di pedalaman sekalipun. ‘Mereka tidak punya banyak cita-cita.
Kebanyakan dari mereka mau jadi pekebun seperti orang tuanya,’ ujar Bu Nasbah.
Mendengar hal itu hatiku kembali hancur. Bagi anak-anak pedalaman, cita-cita
hanyalah suatu hal yang utopis. Mereka bahkan tak punya banyak referensi
cita-cita. Dokter atau polisi sekalipun langka terdengar dari mereka.

Melihat hal tersebut aku
menyadari bahwa PR pendidikan Indonesia masih banyak. Pendidikan di Indonesia
masih belum merata. Bagi anak-anak pedalaman, pendidikan adalah kemewahan.
Lulus SD saja sudah syukur,
lanjut SMP atau SMA adalah anugerah, lanjut kuliah adalah keajaiban yang jarang
sekali datang.

Masih lekat dalam ingatan tentang kisah Bu Nasbah
dan anak-anak SDKT Salujengi, hari kedua mataku kian terbuka. Di hari kedua,
kami berkunjung ke SD Terpencil Bukit Indah Singura. Sesuai namanya, lokasinya
ada di atas bukit. Kami berjalan kurang lebih 30 menit dari kaki bukit untuk
sampai ke lokasi. Setibanya di atas bukit, kami melihat papan bertuliskan SD
Terpencil Bukit Indah Singura. Herannya, tidak nampak bangunan sekolah. Hanya
ada rumah panggung kayu dan kandang kambing di bawahnya. Dengan polosnya aku
bertanya pada Pak Wahid, salah satu Guru Garis Depan (GGD) yang mengajar di
sana.

‘Sekolahnya yang mana Pak?’

‘Yang ini mba’

Aku terheran-heran.

‘Sekolahnya di sini mba, di kolong rumah samping kandang kambing’.
Jawab Pak Wahid.

Tenggorokanku tercekat. Sekolah
di kolong rumah dan tepat di samping kandang kambing adalah potret pendidikan
yang memilukan.

Bagaimana mungkin anak-anak bisa
belajar?

Sedang kolong rumah sedemikian
sempit?

Bagaimana mungkin anak-anak bisa
belajar?

Sedang kambing mengembik
sahut-sahutan?

Pak Wahid bilang, sejak berdiri
SD ini tidak pernah punya bangunan. Mereka terpaksa belajar di kolong rumah Pak
Musa yang disekat dengan bilah bambu. Bertahun-tahun mereka belajar di sana.

Yang lebih ekstrem, Bukit Singura
atau lebih populer dengan nama bukit Sinjay lokasinya memang berbukit-bukit.
Dari satu bukit ke bukit lainnya jaraknya sangat jauh. Tak heran anak-anak
harus berlari-lari dari rumahnya di puncak bukit menuju sekolah. Waktu tempuhnya
bisa satu hingga dua jam, Bayangkan! Tubuh-tubuh mungil itu setiap hari
berjalan dan berlari sedemikian lama untuk pergi sekolah. Pak Wahid bilang,
beberapa di antara mereka kerap mengajak adik kecilnya sekolah karena tak ada
yang menjaganya di rumah. Anak-anak dan orang-orang di sana hampir semua tidak punya handphone apalagi smartphone . Kalau ingin izin sekolah untuk panen rica dan
cokelat, mereka harus datang ke sekolah sore hari untuk memberitahu gurunya.

Kisah paling menyedihkan saat
itu, salah seorang guru menceritakan bahwa suatu malam sekitar pukul 11.00 di
saat semua orang sudah terlelap, seorang anak SD kelas satu lari tergopoh-gopoh
dan mengetuk pintu penuh kepanikan, dia menangis sampai-sampai tenggerokannya
tercekat sulit berkata-kata. Rupanya, dia kebingungan karena kakaknya pingsan
dan orang tua mereka sedang bermalam di kebun untuk panen. Jarak antara rumah
yang cukup jauh membuatnya kebingungan mencari pertolongan.

Bayangkan, seorang anak kecil
berlari tengah malam menyusuri bukit sembari menangis dan penuh kepanikan.
Membayangkan itu adalah adikku membuatku ingin menangis. Betapa kondisi
anak-anak di sana begitu memprihatinkan.

Aku meyakini, bahwa selalu ada ‘local heros’ bagi tiap-tiap masalah di
pedalaman. Sebagaimana Bu Nasbah yang menjadi pahlawan bagi anak-anak di SDKT
Salujengi, maka anak-anak SD Terpencil Bukit Singura punya Pak Musa sebagai
salah satu pahlawannya.

Pak Musa bukan orang terkenal, bukan orang kaya, bukan
juga orang yang berpendidikan. Tapi, kontribusi beliau untuk penduduk sekitar
luar biasa banyak. Pak Musa adalah orang yang membangun jalan setapak dari kaki
bukit hingga puncak bukit. Sendirian. Benar-benar sendirian. Setiap hari selama
berbulan-bulan beliau membangun jalan setapak agar orang-orang bukit mendapat
akses jalan yang lebih mudah. Pak Musa, juga adalah pahlawan yang memberikan
kolong rumahnya yang ia sulap menjadi ruang kelas bagi anak-anak. Bahkan, ia
mewakafkan tanahnya di atas bukit untuk nanti dibangun menjadi sekolah.
Meskipun belum ada material yang bisa digunakan, paling tidak Pak Musa telah
memberikan segalanya yang beliau punya. Saat ku tanya ‘Pak, kenapa capek-capek
bangun jalan dan kasih tanah buat sekolah?’ Jawaban beliau singkat namun
menghunjam ‘Kan kita tahu kalau kita berbuat baik sebenarnya kita berbuat baik
untuk diri kita sendiri. Kasihan anak-anak kalau harus berjalan jauh ke
sekolah’

Aku tertegun sejenak. Pak Musa,
yang hanya seorang pekebun banyak memberikan apa yang ia miliki untuk kebaikan
banyak orang. Berbagi tak perlu menunggu kaya.

Dua hari di pedalaman Sulawesi,
melihat lebih dekat potret pendidikan di pedalaman membuatku banyak merenung.
Meminjam istilah Anies Baswedan, ‘Pendidikan adalah tanggung jawab setiap orang
yang terdidik’. Rasa-rasanya kami tidak bisa tinggal diam begitu saja. Apalagi
jika kami lihat binar-binar kebahagiaan dan semangat yang ditunjukkan oleh
anak-anak sana. Mereka semua berhak mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Aku, yang semasa sekolah tergolong bergajulan, lupa bersyukur dan banyak
mengeluh seketika tersadarkan oleh semangat anak-anak dan ketulusan orang-orang
baik di sana.

Kita tidak bisa menyalahkan
siapapun untuk kondisi ini. Bukankah lebih baik menyalakan lilin ketimbang
memaki kegelapan? Ketulusan Bu Nasbah, kebaikan Pak Musa sungguh membuat kami
iri. Kami ingin sekali berbuat banyak untuk mereka. Insan Bumi Mandiri mungkin
hanyalah ‘jembatan’ kebaikan yang menghubungkan Sahabat Pedalaman yang dermawan dengan para penerima manfaat di
pedalaman Indonesia. Tapi, kami meyakini bahwa menjadi jembatan kebaikan adalah
kebaikan itu sendiri.

Semoga aku, Insan
IBM dan semua Sahabat
Pedalaman selalu
berada dalam lingkar-lingkar kebaikan dan senantiasa berbagi dengan apa yang
kita punya.