Hari Anak Nasional, sebuah momen seremonial di mana segala hal tentang anak-anak di Indonesia diperingati dan dirayakan. Anak-anak sebagai individu yang butuh gizi, pendidikan, dan perhatian penuh dari lingkungan sekitarnya, mulai dari keluarga hingga pemerintah di suatu negara.
Hari anak nasional dan kampanye kesejahteraan anak Indonesia bukanlah hal baru di Indonesia, momen ini diperingati setiap tahunnya. Sudah banyak aturan-aturan yang dibuat untuk melindungi dan menjamin kehidupan mereka. Di kota-kota besar sepertinya sudah berjalan dengan baik. Namun, masih ada pertanyaan yang terbersit di benak saya, apakah hal ini sudah dirasakan juga oleh anak pedalaman Indonesia?
“Bagaimana Jika Aku adalah Anak Pedalaman Indonesia?”
Daftar Isi
Pada momen Hari Anak Nasional, pertanyaan ini muncul sebagai bentuk keresahan saya dalam melihat belum meratanya kebijakan pemerintah, terutama untuk anak yang hidup di perbatasan dan wilayah pedalaman Indonesia. Bahkan jika saya menjalani hidup sebagai bagian dari mereka, anak pedalaman Indonesia, akankah bisa tetap mengatakan dengan lantang, jika saya hidup dalam sebuah negara yang adil dan sejahtera?
Mungkin terlalu naif jika hanya melemparkan statement tanpa landasan, berikut akan saya buat beberapa poin yang menjadi landasan dari pertanyaan di atas. Pada momen hari anak nasional ini, semoga tulisan saya bisa membuka pandangan kita semua. Selamat membaca
1. Rendahnya Tingkat Kesejahteraan
Hari Anak Nasional diperingati setiap tahunnya, akan tetapi masih banyak anak Indonesia hidup dalam tingkat kesejahteraan keluarga yang rendah, terutama bagi anak pedalaman. Hal ini kemudian memunculkan permasalahan baru lainnya yaitu masalah kesehatan, pendidikan, dan banyak juga dari anak-anak yang masih pada usia bermainnya harus ikut orang tua untuk mencari nafkah.
Pada momen Hari Anak Nasional selalu digaungkan masalah kesejahteraan dan hak-hak anak, tetapi belum bisa direalisasikan seutuhnya.
Baca Juga : 4 Fakta yang Membuat NTT Jadi Provinsi Tertinggal
2. Krisis Gizi dan Kesehatan
Anak pedalaman Indonesia masih banyak menderita gizi buruk dan masalah kesehatan lainnya. Hal ini sebagai dampak dari tingkat perekonomian keluarga yang rendah, sehingga gizi anak menjadi tidak terpenuhi. Banyak dari anak-anak yang lahir dengan kondisi kesehatan yang buruk, tumbuh besar dengan penyakit seperti hidrosefalus, busung lapar, dan berbagai penyakit yang membahayakan mereka.
Di Hari Anak Nasional ini, seharusnya perhatian untuk mereka ditingkatkan secara signifikan dan direalisasikan, bukan hanya ada di dalam menjadi naskah pidato semata.
Baca Juga : Tingginya Stunting di Nusa Tenggara Timur
3. Hidup dengan Perhatian Secukupnya
Anak pedalaman seakan-akan luput dari perhatian masyarakat umum dan pemerintah. Mereka seakan-akan hanya diberikan perhatian secukupnya saja, dimunculkan saat kampanye pemerintah, dan diliput media apabila ada kasus-kasus yang “menjual”. Lebih dari itu, mereka berjuang hidup sendiri dengan segala keterbatasan yang ada. Tidak ada infrastruktur dan tempat tinggal yang memadai, gedung sekolah yang seadanya dan akses transportasi yang sulit.
Kembali lagi, wacana akan perhatian untuk seluruh generasi bangsa secara merata di Hari Anak Nasional seharusnya tidak sekadar jadi bahan kampanye semata. Hal ini harus direalisasikan sesegera mungkin.
4. Mahalnya Pendidikan
Pendidikan untuk segala bangsa merupakan salah satu topik yang selalu dikemukakan pada upacara seremonial Hari Anak Nasional. Namun, pendidikan menjadi barang mahal yang tidak semua anak pedalaman bisa merasakannya.
Bagaimana bisa merdeka belajar jika gedung sekolah hanya ada satu dengan jarak dari rumah ke sekolah lebih dari 5 kilometer. Gedung sekolah pun seadanya, dua kelas digabung menjadi satu, belajar dengan meja yang lapuk karena sebagian besa sudah dimakan rayap, dan atap yang bocor jika hujan turun. Fasilitas berupa perpustakaan dan buku pelajaran pun teramat sangat terbatas.
Simak kondisi nyatanya dalam tulisan berikut: Seperti Inilah Bentuk Sekolah Gratis di Pedalaman NTB
5. Putus Sekolah karena Tidak ada Biaya
Biaya pendidikan yang mahal untuk orang tua anak pedalaman, membuat banyak dari mereka akhirnya memilih untuk berhenti sekolah atau tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi.
Di Hari Anak Nasional ini saya kembali sadar, merdeka belajar belumlah dirasakan oleh seluruh anak Indonesia, terutama bagi mereka yang hidup serba terbatas dan terkadang dilupakan. Salah satunya terjadi pada Ramadin, anak yatim piatu yang tinggal di pedalaman Desa parangina, Kec. Sape, Kab. Bima, Nusa Tengara Barat bersama kakek dan neneknya. Ia ingin sekali menjadi seorang TNI, tapi…
Kisah Selengkapnya : Ramadin, Yatim Piatu Gembala Kambing untuk Sekolah
6. Terbatasnya Fasilitas dan Teknologi
Kegiatan belajar dari rumah yang digalakkan sejak pandemi Corona di bulan Maret lalu menjadi hal yang membuat anak pedalaman tidak bisa belajar sama sekali. Tidak ada akses internet dan teknologi yang memadai, bahkan buku pelajaran yang bisa mereka bawa pulang pun tidak ada sama sekali.
Jika peringatan Hari Anak Nasioanl tahun ini dilakukan secara online, anak-anak di pedalaman Indonesia tidak akan bisa menyaksikannya
Bantu Sekarang : Belajar Jarak Jauh karena Covid-19, Anak Pedalaman Tak Punya Buku
7. Stereotip Negatif Melekat Sedari Lahir
Stereotip tentang orang-orang di pedalaman yang identik dengan hal-hal negatif sudah melekat pada anak pedalaman ini sedari mereka lahir. Stereotip ini mereka terima dari orang-orang yang bahkan tidak mengenal mereka sama sekali. Stereotip ini negatif ini kemudian memunculkan perlakuan buruk dan tidak wajar pada mereka, dianggap berbeda dan lebih rendah daripada yang lainnya.
Hari Anak Nasional ini seharusnya juga menjadi momen persatuan dan penyamaan persepsi, jika setiap anak yang dilahirkan ke dunia memiliki hak sama untuk bahagia, mereka juga pantas mendapat perlakukan setara.
Baca Juga : Stereotip tentang Orang Timur yang Salah Total!
8. Dewasa Sebelum Waktunya
Anak pedalaman banyak yang menjadi dewasa sebelum waktunya, sebab mereka yang harus bekerja sembari merawat adik-adiknya karena orang tuanya telah meninggal. Ada pula yang harus bekerja dan berjualan untuk bertahan hidup, banyak dari mereka yang tidak menikmati masa kecilnya karena harus menjadi sosok orang dewasa untuk bisa menyambung kehidupan mereka.
Kalau anak-anak sudah jadi dewasa sebelum waktunya, peringatan Hari Anak Nasional tidak ada artinya buat mereka.
Delapan hal ini hanya sedikit dari sekian banyak alasan yang membuat mereka menjalani hidup lebih sulit daripada yang seharusnya. “Jika saya adalah anak pedalaman Indonesia, akankah saya bisa bertahan dengan segala kesulitan yang ada?”
Tulisan ini dibuat bukan untuk menyudutkan pihak manapun, melainkan usaha dalam membuka mata banyak pihak bahwasanya masih ada kesulitan luar biasa yang dialami oleh anak-anak Indonesia. Dan Hari Anak Nasional ini saya rasa adalah momen yang tepat untuk menyampaikannya.
Hari Anak Nasional jangan hanya menjadi seremonial dan ajang untuk mendeklarasikan kebijakan-kebijakan saja. Hari Anak Nasional yang tiap tahunnya diperingati seharusnya diiringi dengan perubahan dan peningkatan kesadaran dari setiap elemen masyarakat dan pemerintahan di Indonesia.
Jangan menutup mata, jangan lagi ada perbedaan dan setereotip negatif terhadap anak pedalaman Indonesia. Kita semua sama, memiliki hak dan harapan untuk hidup dalam kebahagiaan, kesejahteraan dan mendapat perlakukan yang setara.
Jadikan momen Hari Anak Nasional ini sebagai titik perubahan dan memulai aksi nyata, bukan hanya ajang seremonial belaka. Tunjukan aksi nyatamu untuk bantu anak pedalaman Indonesia.