Ramadhan semakin dekat ini Sahabat. Sudah punya list apa saja untuk merayakan Ramadhan? Satu bulan yang penuh kemuliaan ini begitu ditunggu-tunggu kehadirannya oleh umat muslim di seluruh dunia. Bulan yang penuh ampunan, bulan turunnya Al-Qur’an, dan juga bulan yang memiliki keutamaan-keutamaan lainnya.
Kita patut bersyukur karena pada bulan Ramadhan kali ini masih diberikan umur yang panjang dan kesehatan dalam menyambut kehadirannya. Sahabat pastinya sudah melakukan segala persiapan terbaik guna menyongsongnya. Mulai dari persiapan fisik, mental, hingga spiritual.
Lalu, bagaimana dengan saudara-saudara kita yang ada di pedalaman sana? Apakah mereka juga melakukan hal yang sama? Menyambut Ramadhan dengan kondisi yang sama baiknya dengan kita?
Muslim di Pedalaman Menyabut Ramadhan
Dengan segala keterbatasan, umat muslim di pedalaman menyambut Ramadhan dengan senyum yang sama, dengan semangat yang sama, dan dengan harapan yang sama yaitu ingin mendapatkan kemuliaan Ramadhan dan Lailatul Qodar.
Namun, kondisi mereka sangat jauh berbeda dengan kita. Di tengah susahnya kehidupan, mereka masih harus bersabar karena belum memiliki masjid yang layak untuk beribadah.
Bagaimanakah kondisi masjid-masjid di pedalaman? Berikut beberapa cerita pilu tentang masjid di pedalaman:
1. Masjid Satu-satunya di Maumbawa, NTT
Apa jadinya jika di suatu daerah hanya terdapat satu masjid dan itupun sudah tidak bisa dipakai lagi? Begitulah yang terjadi di Dusun Mumbawa, Desa Kezewea, Kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada, NTT.
Jika dekat dengan kota, mungkin kita bisa mencari alternatif masjid yang lain. Sayangnya, Maumbawa berjarak 45 kilometer jauhnya dari pusat kota. Jadi tidak mungkin warga menempuh perjalanan sejauh itu untuk pergi sholat berjamaah.
Satu-satunya masjid itu bernama Masjid Nurul Huda. Dibangun pada tahun 1973, Masjid Nurul Huda sudah terlalu tua untuk digunakan. Kondisinya tidak lagi layak dan banyak kerusakan di beberapa bagiannya. Faktor inilah yang menjadi alasan akhirnya Masjid itu dirobohkan untuk dibangun kembali agar lebih layak. Dengan begitu, masyarakat berharap bisa menggunakannya sebelum Ramadhan tiba.
Mengandalkan iuran warga yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan, masjid pun mulai dibangun. Secercah harapan muncul ketika melihat fondasi dan pemasangan tiang besi berhasil dibuat.
Namun sayang, warga harus kembali mengubur keinginannya merasakan masjid yang baru karena pembangunannya tersendat. Dananya sudah habis, sementara masjid berkapasitas 600 jamaah itu membutuhkan biaya yang tak sedikit mengingat besarnya masjid yang akan dibangun nantinya.
Sahabat, yuk bersama kita tumbuhkan kembali harapan warga Maumbawa agar bisa merasakan kembali nikmatnya beribadah di masjid. Klik di sini.
2. Masjid 70 Tahun di Kwangko, NTB
Untuk sampai ke Dusun Kwangko, Sahabat harus menempuh perjalanan sejauh 70 kilometer dari pusat kota Dompu. Dengan jarak sejauh itu, di dekat laut dan pegunungan yang masih perawan. Masyarakat di Desa Kwangko, Kecamatan Manngelewa, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) hidup dengan sederhana. Sebagian besar masyarakat ada yang menjadi petani dan ada pula yang berprofesi sebagai nelayan. Walau berbeda, masyarakat hidup harmonis dan tidak pernah bermusuhan. Kuatnya Islam yang menjadi agama nenek moyang semakin menambah pertalian kekerabatan antara mereka semakin erat.
Masjid Nurul Mubin adalah buah dari sifat gotong royong yang mengakar kuat dalam diri masyarakat Dusun Kwangko. Masjid yang berusia 70 tahun lalu itu dibangun dengan jerih payah mengumpulkan uang dari penghasilan menjadi nelayan dan petani yang tak seberapa.
Seiring dengan berjalannya waktu, masjid berbahan dasar kayu itu semakin melapuk karena cuaca dan usia yang sudah sangat renta. Masyarakat bukannya tidak ingin memperbaiki, hanya saja terkendala di biaya. Namun mereka tidak menyerah, sambil berusaha memperbaiki. Mereka berikhtiar untuk membangun masjid baru yang terletak dekat dengan situ.
Masih mengandalkan iuran, masyarakat bergotong royong dalam membangun masjid. Namun lagi-lagi karena terkendala biaya, masyarakat harus rela kembali menelan pil pahit. Di saat fondasi dan tiang sudah usai dibangun, pembangunannya terpaksa terhenti. Masyarakat harus kembali lagi bekerja ke laut dan gunung agar bisa mengumpulkan lebih banyak uang untuk disisihkan nantinya.
Sahabat, mereka tidak sendiri. Kita bisa menjadi secercah asa untuk mereka. Ayo bantu mereka. Klik di sini.
3. Jalan 3 Kilometer untuk Sholat di Masjid
Akibat wabah yang terjadi beberapa bulan terakhir, sudah pasti kita jadi sangat merindukan sholat di masjid. Apalagi di Bulan Ramadhan, momen kebersamaan sangat kental dan masjid selalu dipenuhi oleh jamaah. Sholat tarawih, buka bersama, sahur bersama, I’tikaf, hingga kajian-kajian yang memenuhi bulan suci.
Berbeda dengan jamaah Masjid Nurul Huda di pedalaman sana, mereka sudah melewatkan 7 kali Ramadhan tanpa berkegiatan di masjid. Terletak di Kampung Kas, Desa Goloijun, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Masjid ini sudah begitu roboh hingga masyarakat tidak ada yang berani sholat di sana.
Dibangun tahun 1989, Masjid Nurul Huda menjadi pusat kegiatan keislaman umat muslim minoritas di NTT. Tapi karena jarang diperbaiki, sejak 7 tahun lalu kondisinya semakin memburuk dan rawah sekali roboh.
Warga harus menempuh jarak sejauh 3 kilometer jika ingin pergi ke masjid di kampung sebelah. Namun, tidak semua warga sanggup berjalan sejauh itu, sehingga memilih untuk tetap memilih sholat di rumah.
Sahabat, kita semua rindu sholat di masjid tapi karena kondisi jadi tidak bisa. Mereka juga sama rindunya dengan kita, tapi bukan karena kondisi, melainkan karena masjidnya memang tidak ada. Yuk bantu mereka! Klik di sini.
Begitulah kondisi masjid-masjid di pedalaman. Semoga dapat menambahkan rasa syukur dalam diri kita. Dan kita mendapatkan kebe rkahan di bulan Ramadhan nanti. Amiin Ya Rabbal Alamin.