Ekonomi adalah salah satu indikator yang menentukan maju tidaknya suatu negara. Sebuah negara dapat dikategorikan sebagai negara maju saat kondisi ekonomi negara tersebut stabil dan tingkat kemiskinan cenderung rendah.
Jika berbicara mengenai ekonomi, Indonesia sendiri masih sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. Meski per Maret 2022 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan di negeri pertiwi menurun dari angka 10,54% ke angka 9,54%, namun rasanya kemiskinan masih bercengkrama hangat dengan negeri kita.
Kemiskinan sendiri dibagi menjadi beberapa jenis, yang di antaranya adalah kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural yang mungkin tanpa sadar masih sering sahabat temui di sekitar.
Lantas apa perbedaan antara dua jenis kemiskinan tersebut? Yuk, tuntaskan rasa penasaran sahabat! Berikut perbedaan kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural.
1. Kemiskinan struktural muncul karena faktor eksternal, sedangkan kemiskinan kultural muncul karena faktor internal
Dikutip dari buku berjudul Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan karya N.H.T. Siahaan kemiskinan struktural adalah kondisi kemiskinan yang terjadi apabila pendapatan seseorang sudah berada di atas garis kemiskinan, namun secara relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di sekitarnya. Sementara itu, kemiskinan kultural adalah jenis kemiskinan yang mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya.
Kemiskinan struktural yang dialami oleh sekelompok masyarakat dapat terjadi karena faktor eksternal dari dirinya, seperti regulasi yang berlaku ataupun lingkungan. Seperti contohnya saja sebuah desa dengan akses yang sulit dijangkau karena tidak memiliki jalan yang layak. Dengan kondisi seperti itu, desa tersebut akan sulit berkembang karena berbagai jenis usaha yang hendak dijalankan oleh masyarakat desa tersebut besar kemungkinannya menjadi terhambat.
Sementara kemiskinan kultural terjadi karena faktor internal dari orang tersebut, seperti etos kerja yang rendah, mudah menyerah, malas belajar, dan masih banyak lagi. Contoh sederhananya saja orang yang tidak bisa menyisihkan sebagian gajinya untuk menabung dan saat membutuhkan uang untuk situasi mendesak, ia malah mengandalkan pinjaman dari orang lain. Contoh lainnya adalah saat seseorang selalu merasa tidak memiliki cukup uang untuk membiayai hidupnya, sementara uang yang ia dapatkan selalu habis untuk membeli produk mahal demi memuaskan gengsinya.
2. Kelompok yang miskin struktural tidak bisa memanfaatkan sumber daya yang ada, sedangkan kelompok yang miskin kultural tidak mau memanfaatkan sumber daya yang ada
Secara umum kemiskinan dapat terjadi saat suatu kelompok tidak mengelola sumber daya yang ada secara maksimal. Begitupun dengan kelompok yang berada di kategori miskin struktural. Ketidakberdayaan, kurangnya ilmu, serta keterbatasan akses membuat kelompok miskin struktural belum mampu mengelola sumber daya yang ada. Baik itu sumber daya alam, harta pribadi, relasi, dan sumber daya lainnya.
Jika kelompok miskin struktural tak mampu memanfaatkan sumber daya, lain halnya dengan kelompok yang miskin kultural. Bukan tak mampu memanfaatkan sumber daya yang ada, justru mereka cenderung tidak memiliki keinginan untuk memanfaatkannya. Kelompok yang berada di kategori ini malas untuk bertindak dan berusaha, mereka lebih memilih untuk hidup dalam ketidakberdayaan meski memiliki potensi yang sebetulnya bisa mereka maksimalkan.
3. Solusi untuk kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural
Baik kemiskinan struktural maupun kemiskinan kultural, bukan tak mungkin bagi kelompok keduanya untuk merubah keadaan dan bergerak keluar dari jerat kemiskinan. Lantas, apakah ada penyelesaian konkrit terkait kemiskinan struktural dan kultural? Jawabannya, ada.
Setiap permasalahan pasti ada solusinya, tak terkecuali dengan kemiskinan. Dikutip dari buku berjudul Mau Ini Apa Itu? karya Syahyuti, secara garis besar solusi untuk kemiskinan struktural adalah dengan menciptakan kesempatan untuk pemulihan ekonomi makro, melakukan pembangunan secara merata dan peningkatan pelayanan umum, serta memberdayakan masyarakat dengan peningkatan akses kepada sumber daya ekonomi dan politik.
Dengan kata lain, solusi atas kemiskinan struktural bisa terwujud dengan bantuan serta dukungan penuh dari pemerintah. Pemerataan pembangunan dapat dilakukan secara bertahap hingga ke pelosok, sehingga tak hanya di kota, masyarakat di desa terpelosok sekalipun punya kesempatan yang sama untuk membenahi kondisi ekonomi mereka.
Sementara itu, kemiskinan kultural dapat diatasi dengan peningkatan kemampuan melalui pendidikan. Dilansir dari laman resmi Tempo, di Indonesia sendiri ada lebih dari 4 juta anak putus sekolah setiap tahunnya. Angka ini menjadi PR genting bagi pemerintah dan masyarakat. Bagaimana tidak, pendidikan merupakan elemen fundamental dalam membangun bangsa. Dengan pendidikan yang baik, suatu negara dapat mencetak SDM yang baik pula. Dan hanya negara dengan kualitas SDM terbaiklah yang akan mampu mewujudkan penurunan angka kemiskinan secara signifikan.
Itu dia sekilas mengenai perbedaan kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Meski sepintas terlihat sama, rupanya setiap jenis kemiskinan punya definisinya masing-masing, ya. Dengan kerjasama yang terjalin baik antara masyarakat dan pemerintah bukan tak mungkin jika angka kemiskinan di suatu negara baik itu secara struktural maupun kultural bisa berkurang ke depannya. Bagaimana dengan sahabat? Apakah sahabat siap turut serta turunkan angka kemiskinan di Indonesia?
Referensi:
https://kumparan.com/kabar-harian/pertumbuhan-ekonomi-di-negara-maju-dan-negara-berkembang-1xPnNpwnrIJ
https://www.kompas.com/skola/read/2021/11/16/140000269/contoh-bentuk-kemiskinan-relatif-absolut-struktural-dan-kultural?page=all
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/21/angka-kemiskinan-indonesia-maret-2022-terendah-semenjak-pandemi
https://www.gramedia.com/literasi/kemiskinan/