Kisah Pedalaman

Kegiatan Masyarakat Sambut Ramadhan di Pedalaman

menyambut bulan ramadhan

Sahabat, menjelang bulan Ramadhan, ada banyak hal yang mestinya kita siapkan. Salah satunya menyiapkan jiwa dan raga agar dapat sepenuhnya menjalankan ibadah-ibadah di bulan suci. Dengan kesiapan yang baik, tentu akan lebih maksimal dalam meraup setiap pahala yang Allah gandakan berkali-kali lipat di dalamnya.

Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita di pedalaman sana? Berikut kegiatan mereka dalam menyambut Ramadhan di pedalaman yang menarik untuk kita ketahui:

Gotong Royong Membangun Masjid 

gotong royong membangun masjid

Ketika Ramadhan tiba, masjid di perkotaan berbondong-bondong mengadakan kegiatan untuk para jamaahnya. Mulai dari pengadaan sahur gratis, buka bersama gratis, hingga I’tikaf di 10 hari terakhir Ramadhan.

Selain itu, pengajian-pengajian juga ditambah jumlahnya. Sahabat jadi bisa memilih ingin sholat di masjid mana karena masing-masing punya kelebihannya masing-masing.

Nah, di pedalaman sana tepatnya di Kampung Woe Lemba, Dusun Marombok, Desa Golo Bilas, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, warganya justru membangun masjid untuk mempersiapkan diri mereka dalam menyambut Ramadhan.
Usut punya usut, desa yang memiliki jarak 15 kilometer dari pusat kota ini memang tidak memiliki masjid, Sahabat. Akhirnya, karena kerinduan untuk sholat tarawih berjamaah, mereka memutuskan membangun masjid secara swadaya.

Sebagian besar penduduk di Kampung Wae Lemba berprofesi sebagai petani. Upah mereka tidak besar, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Meski begitu, sama sekali tidak mengecilkan semangat mereka untuk memiliki masjid. Dengan menyisihkan sebagian pendapatan dari bertani, mereka berhasil mengumpulkan sekitar 100 orang untuk ikut patungan bangun masjid. 

Wih, keren ya Sahabat. Hidup serba kekurangan tidak lantas membuat mereka pesimis. Justru sebaliknya.

Lihat cerita selengkapnya di sini.

Hidup Sederhana, tapi Penuh Makna

hidup sederhana ala masyarakat pedalaman

Saat Ramadhan, sebagian pola kehidupan kita bisa berubah. Kita tetap bekerja, belajar, dan berkegiatan sebagaimana hari-hari biasa. Bedanya, jam pulang kantor dan juga sekolah lebih cepat dari biasanya.

Di pedalaman, Sahabat akan menemukan atmosfer yang berbeda. Begitu Ramadhan tiba, suasana Islami begitu kental terasa. Seluruh warga akan berbondong-bondong menyesaki masjid untuk tarawih, tadarus Al-Qur’an, kajian kitab, dan kegiatan-kegiatan lainnya. 

Desa Lerabing, Alor, Nusa Tenggara Timur adalah nama tempatnya. Di pelosok desa yang jauh terpisah dari pulau Alor itu, masyarakat desa seperti hidup dengan ‘dunia’-nya sendiri. 

Bayangkan saja, untuk mencapai desa tersebut. Sahabat harus menempuh perjalanan sejauh 5-6 jam menggunakan kapal motor. Wilayah Desa Lerabaing, Alor, Nusa Tenggara Timur sangat gersang, sedikit sekali pepohonan dan berbatu. Tidak heran suhu di sana bisa mencapai 40 derajat celcius! Wah, pasti panas sekali ya.

Seperti masyarakat NTT pada umumnya, penduduk desa itu berprofesi sebagai petani. Pendapatan mereka sekitar Rp300.000 hingga Rp700.000 per bulan, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga. Jika Sahabat berjalan menyusuri desa, maka Anda akan menemukan kebanyakan rumah terbuat dari seng dan atap anyaman daun jerami.

Hidup Serbeda Sederhana

Tidak ada rumah tingkat, tidak ada tempat hiburan, tidak ada sinyal apalagi gadget. Semuanya hidup serba sederhana.
Meski serba kekurangan dan penuh kesederhanaan, rasa kebersamaan masyarakat di pedalaman itu juara! Tentang hal ini, dijamin deh Sahabat sudah jarang lagi menemukan, apalagi di kota besar.

Momen Ramadhan akan sangat dirasakan begitu waktu buka bersama tiba. Berbeda dengan kita yang biasanya pergi mencari takjil di masjid-masjid lalu pulang setelah Sholat Maghrib, di sana semuanya dilakukan bersama-sama mulai dari memasak hingga menyiapkan tempat.

Seluruh warga betul-betul turun tangan dalam menyiapkan acara Buka Bersama. Mama-mama (sebutan ibu di NTT) akan berkumpul di satu rumah untuk menyediakan takjil dan juga memasak makanan berat. Sementara para bapak menyiapkan tempat berbuka, dari mulai mencari kayu bakar hingga menata kursi-kursi untuk semua.

Mereka melakukan semua itu dengan sukacita. Padahal, menu makanannya sungguh sederhana, hanya minuman manis yang berasal dari campuran jagung titi, kelapa muda dan airnya, serta sirup marjan merah. Sedangkan untuk makanan berupa ikan bakar dan sayur-sayuran. 

Itu tadi adalah potret-potret Ramadhan di pedalaman. Semoga bisa menginspirasi kita dan dapat memaknai kembali bahwa Ramadhan adalah bulan kebersamaan dan berbagi kebahagiaan 