Membicarakan masalah Papua seperti tak ada habisnya. Belum tuntas persoalan pembangunan, kemiskinan seolah sudah menjadi akibat yang tak terhindarkan.
Konflik bersenjata tidak kunjung mereda, begitu pula diskriminasi. Freeport meski belakangan menampakkan gejala positif, baru akan bisa menunjukkan bukti nyata mulai tahun 2023.
Sebenarnya bagaimana asal usulnya hingga persoalan menjadi makin pelik?
Peneliti LIPI Muridan S. Widjojo, mengutarakan bahwa semua problem tersebut berawal dari buruknya komunikasi antara semua pihak berkepentingan. Baik pemerintah pusat, daerah, maupun penduduk setempat, termasuk para tokoh dan organisasi masyarakatnya.
Beliau juga mengungkapkan, ada empat akar masalah Papua yang sampai sekarang penanganannya belum benar-benar fokus.
Mulai dari status politik dan integrasi wilayah, operasi militer, diskriminasi, serta ketidakmerataan pembangunan. Jadi, bisa disimpulkan bahwa masalah Papua sudah bermula sejak masa prakemerdekaan.
Papua Pra-NKRI
Daftar Isi
Pulau Papua atau Irian dulunya berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Tidore. Kerajaan besar ini memproklamirkan diri pada 12 April 1797.
Baru awal abad ke-19, setelah bertahun-tahun tanpa pendudukan secara resmi, Belanda mengklaim wilayah tersebut. Mendirikan benteng Du Bus sekaligus menandai timbulnya masalah Papua jilid pertama.
Hanya beberapa tahun, lalu Belanda meninggalkan pulau sekitar tahun 1836 karena kondisi geografis kawasan itu terlalu ekstrem buat utusannya.
Inggris dan Negara Eropa lainnya tidak mengakui Fort Du Bus sebagai klaim Belanda atas Pulau Irian. Pasalnya Bangsa Eropa kala itu sedang gencar melakukan ekspansi ke seluruh dunia guna menemukan daerah koloni masing-masing.
Tak ingin kehilangan kekuasaan, Belanda kembali lagi ke timur Nusantara pada akhir abad ke-19. Belanda kemudian menyanggupi permintaan kesepakatan dengan Inggris melalui perjanjian Anglo-Dutch Treaty.
Perjanjian itu berisi pembagian wilayah kolonial antara Inggris dan Belanda di seluruh Asia Tenggara.
Belanda mendapatkan Papua Barat, sementara Inggris menguasai wilayah Papua Nugini. Baru pada tahun 1909 Belanda secara resmi mendirikan pusat pemerintahan di Manokwari.
Perebutan Papua Jilid Dua
Melalui Konferensi Meja Bundar pada 1949, Pemerintah Indonesia menginginkan pihak kolonial menyerahkan kedaulatan penuh atas bekas wilayah kekuasaannya di Nusantara, termasuk Pulau Irian.
Sayangnya itu tidak berjalan mulus, kedua pihak bersikeras untuk berebut kekuasaan. Perundingan selama sebelas tahun (1949 – 1960) gagal menghasilkan kesepakatan, hingga kemudian dibawa ke sidang PBB.
Masalah Papua ini pun baru selesai tahun 1962, lewat penandatanganan Perjanjian New York. Salah satu isinya adalah pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), yakni meminta rakyat Papua menentukan sendiri bergabung dengan NKRI atau Belanda.
Sementara sejak awal tahun tersebut, Presiden Sukarno membentuk Komando Pembebasan Irian Barat dipimpin Mayjen Soeharto.
Tekanan ini membuat Belanda tak punya pilihan, sampai akhirnya bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia, meski masih dalam pengawasan PBB.
Masalah Papua Pascakemerdekaan
Setelah beralih ke tangan Indonesia, ternyata masalah Papua belum juga terselesaikan.
Pemerintah Indonesia selama ini baru berhasil mengganti nama dari Irian Barat (1969 – 1973) ke Irian Jaya (1974), menjadi Daerah Otonomi Khusus Papua pada 2002. Dua tahun kemudian timbul masalah baru setelah pemerintah melakukan pemekaran wilayah.
Wilayah ini kini terbagi menjadi dua provinsi, yakni Provinsi Papua Barat beribukota di Manokwari dan Provinsi Papua dengan Jayapura sebagai pusatnya.
Rencananya bakal ada satu provinsi lagi yang dibentuk dalam beberapa tahun mendatang, yaitu Provinsi Papua Barat Daya dengan pusat pemerintahan Sorong.
Warga Papua Tak Pernah Dilibatkan
Sejak klaim Belanda hingga tergabung dengan NKRI, tak pernah sekalipun masyarakat pribumi menjadi subjek utama. Pepera yang merupakan instrumen penentu nasib, persiapannya justru tak pernah melibatkan masyarakat.
Bahkan kabarnya keputusan penduduk dalam Pepera tidaklah murni. Melainkan akibat adanya unsur intimidasi militer melalui Komando Trikora.
Bisa jadi penyebab konflik Papua selama ini karena warga setempat tidak memiliki kebebasan menentukan nasibnya sendiri. Perjanjian New York dan Pepera diselenggarakan semata-mata demi hegemoni atas wilayah kaya mineral ini.
Operasi Militer
Sampai kini, militer terus menjadi masalah Papua paling menakutkan. Ribuan orang hilang atau terbunuh, penyiksaan, kekerasan penangkapan sewenang-wenang, pembubaran forum masyarakat oleh tentara seakan tidak pernah berhenti.
Maka, kebebasan berekspresi hanyalah ada dalam imajinasi.
Pemerintah selalu beralasan bahwa keberadaan militer adalah karena ancaman makar, terutama dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Namun selain berdalih memberantas OPM, nyatanya tentara juga kerap melakukan pelanggaran HAM pada warga tidak bersalah. Pengamanan pun berubah menjadi tindakan represi, mengancam ketenteraman hidup masyakat setempat.
Diskriminasi
Bukan hanya ketenangan terusik karena ulah militer, masyarakat masih harus berkutat dengan diskriminasi, bahkan di tempat tinggalnya sendiri.
Warga gagal memperoleh penghidupan layak. Fasilitas kesehatan dan pendidikan jauh dari kata memadai, apalagi perekonomian. Ironisnya, Freeport selama ini menjadi salah satu penyumbang pajak nasional terbanyak.
Belum lagi masalah diskriminasi warga Papua di perantauan. Contohnya kasus Papua terbaru pada Agustus 2019 lalu, ketika terjadi pengepungan asrama mahasiswa di Surabaya berikut kasus ujaran rasisme, pembubaran demo di Malang.
Berlanjut dengan kerusuhan disertai kekerasan sebagai respons atas dua peristiwa beruntun tadi di Jayapura, Manokwari, juga Sorong.
Kegagalan Pembangunan
Pembangunan nasional memang selama ini terus didengungkan pemerintah. Sayangnya tangan pemerintah belum sanggup menjangkau wilayah paling timur Indonesia. Skala pembangunan sukses berarti terjaminnya aspek pendidikan, kesehatan, serta ekonomi.
Warga dengan tingkat pendidikan minim akan kesulitan memperoleh pekerjaan. Alhasil perekonomian jelas terpengaruh, mereka sukar memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tercatat tingkat kemiskinan di sini tak pernah kurang dari 25 persen sejak tahun 2017. Harapan hidup pun rendah, akibat kemiskinan dan kurangnya sarana kesehatan untuk umum.
Lalu bagaimana mengatasi sedemikian kompleksnya masalah di Papua? Seperti pendapat Muridan, komunikasi penting dilakukan.
Harapannya semua pihak dapat saling memahami apa yang diinginkan. Kemudian bersepakat menciptakan suasana damai dan tenteram bagi warga wilayah tersebut. Barulah mungkin, masalah Papua dapat berlalu.